Pendatang Kuasai Lahan Suku Sakai, Aliansi Indonesia Diduga Abai terhadap Hak Masyarakat Adat

Bagikan di sosmed anda

Pendatang Kuasai Lahan Suku Sakai, Aliansi Indonesia Diduga Abai terhadap Hak Masyarakat Adat*

Riau – Aroma konflik agraria kembali menyengat di Riau. Masyarakat Suku Sakai menuding Aliansi Indonesia tidak berdiri di pihak mereka yang sudah turun-temurun mengelola lahan tumpang sari warisan nenek moyang. Sebaliknya, aliansi itu disebut-sebut justru merapat ke kelompok pendatang asal Sumatra Utara yang kini menancapkan sawit di kawasan D30.

Kondisi ini membuat warga Sakai merasa semakin terpojok di tanah mereka sendiri. “Kami bukan pendatang, kami lahir dan besar di tanah ini. Kenapa hak kami dipinggirkan?” ujar seorang warga dengan nada geram.

Pemukiman Diduga Ilegal

Hingga kini, status pemukiman di D30 masih abu-abu. Belum jelas apakah masuk Desa Bung Bung atau Desa Harapan Baru. Warga menduga, jika desa tetangga pun tak berani mengakui, maka pemukiman tersebut bisa saja ilegal.

Tak hanya itu, klaim penguasaan lahan puluhan hektare oleh pendatang pun menuai pertanyaan. “Apakah ada ganti rugi, atau main serobot begitu saja? Kalau garapan, izinnya dari siapa?” tanya warga dengan nada tinggi.

Ancaman Benturan

Kelompok pendatang disebut sudah membangun kekuatan. Masyarakat Sakai khawatir kondisi ini bisa memicu benturan fisik di lapangan. Namun mereka menegaskan, perjuangan akan tetap ditempuh lewat jalur hukum.

“Negara ini negara hukum, kami percaya aparat bisa menindak sesuai aturan. Tapi kalau dibiarkan, gesekan sulit dihindari,” kata warga Sakai.

Jejak Sejarah

Sejatinya, lahan tumpang sari di D30 adalah milik lama keluarga Sakai: Wa Mas Sirun, Samsuri Guntur, dan Wa Ucin. Mereka berladang sejak puluhan tahun lalu. Garis keluarga ini masih terhubung dengan Reno, Ketua Batin Sakai, dan Firdaus Saputra, cucu dari almarhum Pak Gulik, yang juga diakui masyarakat sebagai pemilik sah.

Firdaus: Ini Soal Martabat

Firdaus, tokoh masyarakat sekaligus aktivis, angkat bicara lantang.

“Ini bukan sekadar lahan, ini soal martabat. Tanah ini warisan leluhur kami, identitas kami. Kalau dikuasai pendatang dengan cara semena-mena, itu artinya negara membiarkan masyarakat adat digilas,” tegas Firdaus.

Tuntutan Tegas

Masyarakat Sakai mendesak pemerintah daerah, aparat hukum, dan lembaga adat segera turun tangan sebelum api konflik meluas. Mereka tak ingin konflik ini berubah jadi tragedi berdarah.

“Kalau negara hadir, masalah ini selesai. Kalau negara diam, kami dipaksa bertahan dengan cara kami sendiri,” pungkas Firdaus.

(R2/Rambe)

Tingalkan komentar anda

Verified by MonsterInsights