www.kmm.com–Kuansing-Pacu Jalur, sebuah perayaan rakyat yang merupakan kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi, mengusung sejarah yang panjang dan mengesankan. Perayaan ini menjadi simbol perkembangan fungsi jalur sungai dari sekadar alat angkut menjadi identitas sosial yang kuat.
Awal mula Pacu Jalur dapat ditelusuri hingga abad ke-17. Di mana jalur sungai menjadi sarana utama transportasi di wilayah Rantau Kuantan. Wilayah ini membentang dari Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir Sungai Kuantan. Pada saat itu, transportasi darat masih belum berkembang, sehingga jalur sungai benar-benar menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat desa. Jalur sungai digunakan untuk mengangkut hasil pertanian serta mampu membawa hingga 40-60 orang penumpang dalam satu perjalanan. Jalur-jalur tersebut bahkan dihiasi dengan ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau di bagian lambung dan selembayung. Serta dilengkapi dengan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), dan lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri) untuk mempercantik tampilannya.
Namun, perubahan signifikan terjadi seiring berjalannya waktu. Perubahan ini tidak hanya mengubah fungsi jalur menjadi lebih dari sekadar alat angkut, tetapi juga menggambarkan perubahan dalam identitas sosial. Hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk yang memiliki hak mengendarai jalur berhias ini. Kemudian, sekitar 100 tahun kemudian, Pacu Jalur menjadi sorotan utama.
Pacu Jalur awalnya diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. Namun, seiring perkembangan zaman, Pacu Jalur kemudian menjadi perayaan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Yang menjadikan acara ini berlangsung sekitar bulan Agustus. Saat Pacu Jalur berlangsung, kota Jalur berubah menjadi lautan manusia. Kemacetan lalu lintas merajalela, dan warga yang telah merantau pulang kembali hanya untuk menyaksikan peristiwa spektakuler ini.
Perlombaan Pacu Jalur melibatkan lebih dari 100 jalur, yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai ‘perahu besar’ terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan. Dengan kapasitas mencapai 45-60 orang pendayung yang disebut anak pacu. Perlombaan ini telah menjadi agenda tetap Pemerintah Provinsi Riau untuk menarik wisatawan dari dalam dan luar negeri untuk berkunjung ke Riau. Terutama di Kabupaten Kuantan Singingi.
Selain itu, Pacu Jalur juga memiliki sejarah yang terkait dengan masa penjajahan Belanda. Acara ini digelar untuk merayakan perayaan adat, kenduri rakyat, dan memperingati hari kelahiran Ratu Belanda Wilhelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. Perayaan Pacu Jalur pada zaman Belanda berlangsung selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang berpartisipasi dalam perlombaan.
Kini, Pacu Jalur bukan hanya tentang kompetisi adu kecepatan jalur sungai, tetapi juga tentang warisan budaya dan tradisi yang kental. Warna-warni kostum, dentum meriam sebagai tanda dimulainya lomba, serta teriakan pemberi semangat, semuanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tari budaya lokal yang menjadi kebanggaan masyarakat Kuantan Singingi, Riau. Pacu Jalur adalah perayaan yang dinanti-nantikan dan dinikmati oleh semua yang hadir, sebuah perayaan yang menjadi cerminan kekuatan dan keberagaman budaya Indonesia.